Langsung ke konten utama

Take Him Out...

Tak Kenal Nama..pun Rupa

Setiap orang tentunya punya cara sendiri-sendiri ketika memilih dan menentukan pasangan. Entah itu saat menjajaki masa pacaran maupun ketika memutuskan untuk menikah.

Setidaknya itu yang tergambar dalam program reality show pencarian jodoh yang ada di salah satu stasiun televisi swasta.Terlepas dari apapun motif mereka untuk ikut acara tersebut ataukah memang acara ini penuh dengan agenda setting dari sang produser.

Saat menyaksikan acara itu sabtu sore, ada yang menarik ketika si pambawa acara Choky Sihontang mengumumkan kepada para lady’s bahwa pria yang satu ini mempunyai pengaruh yang sangat besar dan patut dipertimbangakan untuk bisa dijadikan pasangan.

Slide layar lebar pun menampakkan sosok misterius dibalik gambar peperangan, kelaparan dan isu-isu internasional yang lagi menghangat. Di akhiri dengan tulisan bertandatangan Obama...hmm...

Sesaat kemudian pria ’Obama’ itu pun keluar dan berjalan sambil melambaikan tangan menuju panggung. Sosok yang mempunyai kemiripan dengan Presiden Obama baik secara fisik maupun postur tubuh.
”Nama saya Pujianto, 31 tahun, guru olahraga di sebuah sekolah internasional di Jakarta”

Namun ketika pria itu memperkenalkan diri dan menyebut identitasnya, kontan saja ke 18 lady’s yang punya kuasa untuk menyalakan dan mematikan lampu berseru...”huuuuuuu....”

Tapi Pujianto ”Obama” patut berbangga, meski mendapat teriakan masih banyak ladys yang bertahan menyalakan lampu. Awal yang cukup bagus. Itu artinya masih ada harapan untuk menemukan jodoh di ajang ini.

Alasannya, ”Ingin mengenal lebih jauh, sepertinya orangnya baik, ”kata Yulia salah satu peserta. Ketika diminta alasan kenapa menyalakan lampu.
Yulia. Perempuan berusia 29 tahun ini cantik, berkulit putih dengan rambut panjang tergerai. Postur tubuh tinggi ideal dibalut gaun abu-abu gemerlap diatas dengkul dengan belahan dada sedikit terbuka. Cukup mempesona.

Profil pujianto pun dibeberkan di layar besar. Beberapa rekan kerja dan siswa berkomentar tentang sosok Pujianto. Dari cerita mereka tentang Pujianto bisa ditarik kesimpulan bahwa Pujianto orang yang baik, rendah hati, sederhana dan semua kriteria untuk menjadi pendamping idaman, ada didalam dirinya.

Entah apa yang mereka pikirkan. Sesaat kemudian lampu dari para lady’s justru padam bertubi-tubi. Kekecewaan, tidak suka, atau rasa tidak puas bisa tergambar dari beberapa komentar yang sempet mereka lontarkan.

”Namanya ga keren banget, Pujianto gitu loh” ungkap Gracia, peserta yang mematikan lampu sejak awal.

Si-empu yang punya nama pun hanya tersenyum, meski siswa-siswa yang menjadi suporter di ajang ini sempat heboh dan tidak terima atas perlakuan guru mereka. Penonton mengacungkan jempol tangan kebawah, sebagai simbol tidak setuju dengan pernyataan Gracia.

Beda lagi dengan komentar Pilooz, perempuan berusia 26 tahun dengan enteng beralasan kenapa mematikan lampu.
”Duuhhh..liat dia jadi inget sama abang tukang bakso yang sering lewat deket rumah. Abis muka mereka mirip siihh... Jadi enggak banget dech..”

Hmm..Pujianto disamakan dengan abang tukang bakso. Sekali lagi komentar pedas itu tak membuat Pujianto gerah. Ia tetap menebar senyum percaya diri. Sementara penonton semakin dibuat heboh.

Hingga semua lampu para lady’s itu mati. Ternyata tinggal satu yang tersisa. Lampu milik siapa...

Ternyata lampu milik Yulia. Dengan menebar senyum tangannya tak tergerak untuk mematikan lampu yang sebenarnya bisa dimatikan dalam hitungan detik. Itu artinya ia bersedia perpasangan dengan sosok bernama Pujianto abang tukang bakso yang mirip Obama.

Dari drama itu kita bisa sedikit mengambil hikmah, bagaimana cara mencinta.
Ya, mengolah rasa yang muncul dari hati memang tak memandang siapa. Ketika hati berbicara, ia tak akan perduli nama, rupa hingga profesi sekalipun.

Semua menjadi tidak berarti. Karena cinta memang tidak butuh itu.

Bukan berarti love is blind. Yulia tak perduli ketika perempuan lain dengan pedasnya mengejek nama laki-laki yang dipilihnya, atau komentar fisik yang menyakitkan. Tapi yang jelas Yulia pasti punya alasan tersendiri. Dan hanya dia yang tahu.

Endingnya Pujianto pun berharap ”Semoga kami bisa melanjutkan ke jenjang yang lebih baik. Mohon dukungan dan doanya”

Diiringi tepuk tangan meriah dari penonton, keduanya lantas berjalan meninggalkan podium sambil bergandengan tangan dan menebar senyuman.

Senyum kebahagiaan. Menemukan pasangan dengan hati...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

miyabi ato maria o(s)awa........

kemarin siang ga sengaja mampir ke tempat penjualan DVD yang ada di lantai dasar matahari plasa simpang lima setelah 10 menit milih-milih n nyoba beberapa film di layar kaca milik si penjual. tiba-tiba ada seorang laki-laki paruh baya berkulit putih dan bermata sipit datang dan mendekat ke arah kasir clingak-clinguk liat sekeliling toko yang emang lagi ga banyak pengunjung "hmm...kok mencurigakan ni orang.jangan-jangan.."pikirku "mbak..ada miyabi ga ?"tanya lelaki itu. "apa itu ?? enggak ada, adanya maria osawa." tapi dengan segera si mbak penjaga toko meralat. "oooo..maria o(s)awa ya...hee..ada tapi cuma dua koleksinya"jawab penjaga toko "ya, dua-duanya..."jawab si om singkat dengan nada pelan, obrolan lelaki itu berlanjut dengan penjaga yang lain "pengen liat aja, wong di Jakarta lagi ngetrend. ini ambil dimana?? Jakarta apa Batam mas?? "di Jakarta aja kok. tapi ga banyak ambilnya......"kata penjag...

Kisah Negeri Dongeng #3

Sophia memanggut. Pikirannya menjelajah ruang batin. Mencoba berpikir ulang. Mempertanyakan lagi perjalanan malam itu.  "Untuk Apa..." batinnya. Bukan untuk pria Jamaica, bukan untuk singkapan masa lalu. Entah.... yang terlintas di benaknya pada saat itu hanya satu.  "Untuk Thomas..? ."  Tidak. Batinnya menyanggah. Ini karena sepenggal kata. Tapi... Semua yang tak pernah terpikirkan terjadi. Sophia tak mampu menahan diri. Seperti apa akhir cerita itu. Sophia tidak pernah tahu. Thomas bergeming. Sophia pun tak pernah bertanya. Dan Thomas juga tak pernah mengisahkan akhir kisahnya. Semua lenyap seketika.  Ditelan malam. Gelap. Di hempas kemarau panjang. Kering. ****