Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2011

Kisah Pemburu Angin

--> ”Matanya pusaran beliung dari kabar-kabar negeri ujung. Ia datang tanpa genderang Matamu penuh lukisan berwarna sephia muram yang menggumam. Geletarnya sampai ke sungsum dan si pemburu angin itu teperdaya tanpa luka untuk diriku sendiri.” Itu sajak untukmu... Dia berdiri sembari mengumbar senyum. Tulisan besar ''Hardrock Hotel'' tertimpa pendar cahaya itu memucatkan wajahnya. Namanya ? Ah, aku lupa siapa. Tapi wajah dan bibir itu selalu muncul tersapa. Dari bibir mungilnya keluar kalimat, ''Siap?'' Dan perbincangan dengannya, di bawah siraman lampu berpendar-pendar hotel mewah itu meluncur dengan deras. Santai dan banal. Perempuan itu sejak lama menginginkan dirinya bisa jadi langsing. Dia bercerita bagaimana repotnya melakukan itu. ''Nggak gampang loh Mas. Aku berkorban banyak. Salah satunya adalah dengan begadang terus-menerus hingga berbulan-bulan.'' Kalimatnya muram. Tapi guris senyum te

bila...

katakan bila tanpa perlu menjadi pendusta sebab semua bisa jadi perkara tidak hanya untukmu tapi juga dia katakan bila  tanpa perlu bilang perantara yang sesekali justru menyiksa katakan bila ==== otakku dipaksa otakku mengembara kemana? tidak perlu dicari datang sendiri you make me high this words still the same day sept 25th

Pyaaaarr...!!!

Pyaaaarr...!!! Vas yang tadinya berada di meja pojok ruangan itu berubah menjadi keping-keping dan berserakan di sekitar ruangan kamu..kamu..kamu lagi!! coba kamu hitung udah berapa kali kamu pecahin vas kesukaanku?!! dan si tertuduh bersikap seperti biasa, diam tak bergeming. ekspresi kemarahanku dengan mata melotot dan penuh dendam justru disuguhi tampang innocent memenuhi raut mukanya yang jelas-jelas bikin aku sepet saat itu hanya diam dan tak sekalipun memberi alasan kenapa vas kesukaanku itu bisa berantakan di lantai. seingatku sudah tiga kali kamu melakukan hal yang sama pada vas-vas ku sebelumnya tak tahu lagi bagaimana harus mencari jawaban jelas membuat aku meradang hingga kepalan tangan kananku maju ke arah wajah tanpa ekspesinya. muka dan badan  limbung ke kiri. ak ada perlawanan. hanya diam mungkin ini yang kamu inginkan? aku tidak minta kamu mengganti vas kesukaanku, atau meminta pertanggungjawabanmu di depan meja hijau. aku hanya ingin tahu kenapa vas itu bisa p

Mereka dalam Hati

"Ma, kenapa kita nggak pasang bendera kayak Ilham?," si ibu hanya terdiam tak berucap. Mungkin saja karena ia sedang berpikir kapan terakhir kali memasang bendera di depan rumahnya. Atau memikirkan tiang bendera yang nggak ada di depan rumah. Atau kebingungan mengingat  dimana dimana bendera yang udah lama banget nggak pernah dipasang saat 17-an itu tersimpan. "Memangnya kenapa Ma?," Serbuan pertanyaan bocah tetangga berusia delapan tahun itu juga membuat aku kembali mengingat bendera dua warna kebanggaan Indonesia. "Kapan  ya terakhir kali mengikuti upacara bendera 17 Agustus?," tanyaku dalam hati. Yang jelas sudah luamaaa sekali. Tepatnya, jelas saja aku lupa. Tapi kalau di runut lagi, kira-kira selepas SMA aku tak pernah merasakan lagi siksaan upacara. Kok siksaan...? ya, iyalah... Mungkin karena tubuhku yang mungil jadi semua menuntutku untuk selalu berada di depan. Baris yang sangat tidak mengenakkan karena harus tersiksa deng