Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari 2013

Bersandar di Batu Karang

menulis katanya adalah sebuah perjalanan dan sekarang  malah bersandar di sebuah batu karang tanpa memedulikan perjalanan masih panjang di depan memilih berhenti (entah sesaat) karena tak tahan dengan pemandangan  hanya sesekali melihat  matahari jingga di ujung cakrawala... selebihnya..badai bertahan dengan berhenti dan bersandar mungkin jalan  terbaik (untuk sesaat) tapi sampai kapan tubuh  terus bersandar... membuat tangan dan kaki  kelu untuk sekadar bergerak menggores dan memaknai kata entah... Suatu ketika nama Natalie Goldberg muncul di depan mata "Writing Down the Bones" Di batu karang ini... mencoba mencari keheningan mengalirkannya dalam kata untuk menciptakan makna...mengikatnya dan mengabadikannya menjadi diri..pribadi seperti sungai jernih mengalir lepas diantara riak hingga bermuara ke danau tenang untuk sekadar diam Tapi dalam diam itu tanpa disadari ada sebuah sisi dalam diri yang seringkali tak pernah ditemukan And Natalie said :

Kepada Laut

Kepada laut..aku berikan mimpi ini Kepada laut..aku titipkan hati ini Kepada laut juga..harapan itu tiada henti Meski semua harus diakhiri Kepada laut... untuk yg menerjang laut n menyaksikan lumba-lumba menari menyerap energi kerlip plankton bak mutiara dimalam hari cerita dari Liwutongkidi dan Fainemo november

Semu

Mau sampai kapan, bersandiwara Mencoba membuat warna tapi sebenarnya itu... hanya tipu daya mau siapa? itu bukan inginku ya, pasti tahu bulan tak kan sanggup menatap dan mengejar matahari dan mimpi itu cuma harapan semu *time stood still* w/ a big storm

Cuma Tiga Huruf

Mencari gejolak hingga ke lubuk hati Ah..mata teduhmu, kenapa menyambarku Padahal itu bukan tiga kata cuma tiga huruf saja Ah..mimpi, kenapa hadir di siang hari membuatku semakin gerah saja Melawan panasnya rasa *kamu makhluk dari mana.... shade eyes Welcome November 031113

Konflik

“Peperangan melawan diri sendiri adalah bentuk peperangan terbesar diantara perang yang ada.” Quote di buku yang bercerita tentang kisah-kisah humanis di wilayah konflik yang kubaca tiga hari lalu itu sepertinya biasa saja. Tapi karena kubaca beberapakali dan kurenungkan justru nggak lepas dari benakku. Jadi kepikiran. Jangan-jangan karena aku merasa tersindir dengan kalimat di cover belakang buku yang ditulis dengan tinta warna merah itu. Tapi aku nggak akan bicara tentang orang-orang yang “terjebak” berada di area konflik dalam arti harafiah seringkali dikatakan wilayah perang. Atau seperti yang ada di Wikipedia, konflik ( configure) : saling memukul. Yang dalam konteks sosiologis, diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.  Ditambah lagi dalam pandangan tradisional (The Traditional View) mengatakan kalau konflik itu

Something in The Air...

Tugas   kuliah yang kukumpulkan beberapa hari lalu masih saja terngiang. Terutama kalimat pertama yang kutulis ketika menelaah buku Communication and Human Behaviour Brent D. Ruben,Professor komunikasi dari Rutgers University ini.  “Setiap manusia berkomunikasi dengan atau tanpa disadari seperti halnya   bernafas.”   Sesederhana itu? Tentu saja tidak, karena proses berkomunikasi itu sebenarnya tidak mudah. Pun dengan bernafas! Kalau tiga kata   itu pendapat pribadiku, hehe. Ya, karena kita emang bisa bernafas dengan mudah ketika sedang leyeh-leyah di tempat tidur atau relaksasi dengan breathing exercise seperti yang diajarkan Matthias Witzel, psikoterapi asal Jerman yang jadi trainerku beberapa waktu lalu. Tapi di kesempatan lain, bernafas yang katanya simpel   itupun bisa menjadi hal yang luar biasa sulit. Nggak percaya? Tanya orang yang asmanya kambuh atau ketika kamu berlari untuk sekian waktu tertentu tanpa istirahat. Kamu pasti butuh waktu untuk mengatur nafas agar bis

Gandrung

Bulan sabit dan bintang di sebelahnya Tepat di atas bukit cinta melihat kita Bulan sabit tertawa Aku memilih memalingkan muka Sementara bintang… menatap lekat lesung pipinya Your smile looks so alone Have you ever been in love??? naa..naaa..naaaa... 919 Nite…w/ silver lighting n shade eyes On August 12’13

Nobody makes it....

Have you ever had the feeling You take it all for granted You wake up every morning And expect to rise Have you ever had a moment To look into the mirror To find a person Who won’t open her eyes Have you ever felt a presence (Or is it all in the past, dear?) So mesmerizing It chills you to the bone Have you ever been in love And overcome that first fear Well, then you know No one makes it on her own Did you ever catch a sunset Right across the ocean The universe revealed And it didn’t make sense at all When you came into my world Causing quite a commotion I could have sworn I’ve met you Many times before Cos there’s something in your eyes That links us together Something ‘bout your face your lips Your smile looks so alone Have you ever been in love And thought it’d last forever Well, then you know No one makes it on her own Hey, there’s something in your eyes That links us together Something ‘bout your face your lips Your smile looks so alone Have

Memerah dan memadu…

Dan aku sudah melupa Bagaimana cara mencinta Hitam… Gelap seperti malam Entah apa rasanya Meski   banyak bersua Semua suram Kelam… Aaah…Kau Membuat hujan menderasku berwarna merah syahdu Dan terbang bersama hampamu Siang itu apakah semu Memerah dan memadu…   Hey..Red  Mad!! *Antara siang, hujan, merahmu dan nyasar tiga kali* April2013

Kehilangan Itu...

Pernah kehilangan sesuatu, seseorang atau apa pun yang kamu anggap penting? Aku yakin pasti udah pernah meskipun yang hilang itu hanya flashdisk atau bolpoin. Kalau saya sih nggak hanya sekali, tapi bertubi-tubi. Rasanya? Jangan tanya deh, seperti orang putus cinta, hahaha.... Nggak enak makan dan tidur, ingin marah, nangis. Sebal dengan diri sendiri bahkan meratapi kehilangan itu hingga berhari-hari. Hiks! Meski itu hanya sebuah syal? Ya, aku masih ingat ketika barang yang semestinya terlilit di leher justru nongkrong di atas tas yang terselempang di pundak. Dengan santainya melenggang turun dari kereta di stasiun Bandung tanpa menyadari benda peninggalan seorang kawan yang kudapat tahun lalu itu melayang dengan suksesnya entah ke mana. Sialnya, baru kusadari benda kesayangan itu lenyap setelah menikmati secangkir kopi di kafe ruang tunggu stasiun. ''Tolong tanyain portir yang lewat di jalur ini. Harganya sih nggak seberapa tapi syal itu sangat berarti bagi say