-->
”Matanya pusaran beliung dari kabar-kabar negeri
ujung.
Ia datang tanpa genderang
Matamu penuh lukisan berwarna sephia
muram yang menggumam.
Geletarnya sampai ke sungsum
dan si pemburu angin itu teperdaya
tanpa luka
untuk diriku sendiri.”
Itu sajak untukmu...
Dia berdiri
sembari mengumbar senyum. Tulisan besar ''Hardrock Hotel'' tertimpa pendar
cahaya itu memucatkan wajahnya. Namanya ? Ah, aku lupa siapa. Tapi wajah dan
bibir itu selalu muncul tersapa.
Dari bibir
mungilnya keluar kalimat, ''Siap?''
Dan perbincangan
dengannya, di bawah siraman lampu berpendar-pendar hotel mewah itu meluncur
dengan deras. Santai dan banal.
Perempuan itu
sejak lama menginginkan dirinya bisa jadi langsing. Dia bercerita bagaimana
repotnya melakukan itu. ''Nggak gampang loh Mas. Aku berkorban banyak. Salah
satunya adalah dengan begadang terus-menerus hingga berbulan-bulan.''
Kalimatnya muram.
Tapi guris senyum tetap setia dari sudut bibirnya. Untuk penulisnya.
Di tengah-tengah
perbincangan, dia bangkit. ''Begini ini kalau kita mau terapi langsing. Angkat
tangan ke atas, dan wajib memperlihatkan pusar kita!'', ujarnya riang.
''Pusar? Kenapa
harus terlihat?'', tanyaku.
''Karena dari
pusarlah nanti terlihat berapa lemak yang ada di bagian perut kita.''
Tidak terlihat
lemak diperutku. Coba kau telisik
Sudah pernah tuh
kuraba, dan aku lupa! Lagi-lagi lupa, kayak apa, ya?
Dia lalu kembali
duduk sembari mengatakan, ''Hayah, Masnya bisa lihat sekarang tak ada lemak di
perutku.''
Dia menyerupu milkshake sebelum mencomot nugget seafood. ''Nugget seafood ini juga bagus loh untuk
kelangsingan. Coba masnya rasakan?''
''Oh gitu, ya?''
''Iya, ayo dicoba
dulu. Ini seafood kok. Dan jangan lupa dicocol pakai saus.''
Malam melarut. Kafe
di sudut hotel itu mulai lengang.
''Lalu sekarang
berapa berat Anda?''
Bibirnya tersenyum.
Misterius. Pakar kelangsingan itu sejak lama terkenal sebagai perempuan
misterius.
''Jangan tanyakan
berat. Cukup Masnya lihat dan ukur sendiri. Kalau mau, coba Masnya gendong aku.
Ya, gendonglah ke mana pun mau. Tapi jangan ke semak-semak atau terowongan
berhantu. Aku benci kisah horor."
Ketika itu musik mengalun agak chill-out. Beberapa nadanya penuh stacatto.
Wajahnya agak
terhentak oleh bebunyian patah yang mengalun dari cabikan bas yang tertimpa
liukan perih saksofon.
''Anda tak suka
jazz?''
''Oh jangan
salah, aku suka. Tapi aku benci jazz yang terlalu swingy.''
''Kenapa?''
''Swing selalau
hanya membuat aku merasa melambung ke awan tapi tak pernah menjejak ke bumi. Kan
di sana aku bisa kedinginan. Still in the cold.
”Pffff..."
Saat mengucapkan
kalimat terakhir itu, misterinya bertambah dalam.
''Bagaimana kalau kita mendengar Didi Kempot, Manthous, atau
Cak Diqin?''
Matanya mendelik
sebentar. ''Musik zadul en kampungan? Ndesit itu!''
''Baiklah, baiklah. Kita kembali ke topik. Soal kelangsingan itu. Ngomong-ngomong, jadikah
tawaran Anda untuk saya gendong?''
Senyumnya
kembali. Dan dari bibirnya terucap: ''But when I open my eyes......Your
gone''
Perempuan itu pergi. Tetap membawa misteri.
In the cold of the nite...
Komentar