”Orang Miskin Dilarang Sekolah”. Pernah baca novel ini? di Surabaya, siswi kelas II SMPN 37 Surabaya dihukum berdiri di tengah ratusan peserta upacara bendera di sekolahnya. Kesalahannya, hanya karena nggak memakai seragam baru lengkap dengan badge dan logo sekolah. Seragam yang menjadi keniscayaan baginya ditengah kondisi ekonomi orangtua yang membelit.
Kisah Fitri Ayu yang kubaca di sebuah media on-line nasional beberapa hari lalu, mengingatkanku pada novel plus pin badge dengan tulisan sama keluaran Resist Book yang kusambar dipameran buku di Yogyakarta beberapa tahun lalu.
Dari judul novel diatas sudah pasti hampir bisa ditebak isi dan makna dari tulisan Wiwit Prasetyo, sang pengarang.
Peristiwa yang dialami Fitri Ayu mungkin nggak sepahit Andika Imam Taufiq. Setiap hari, bocah berumur sembilan tahun ini harus membawa kursi plastik ke sekolahnya di SDN Kotakusuma Pulau Bawean, Gresik. Dengan alasan nggak sanggup membayar ”uang kursi” yang diwajibkan sekolah.
Terus gimana kalau belum bayar buku LKS? Ica Nur Safitri dan Karlina, dua siswi SDN 1 Sukomulyo Kecamatan Manyar, nggak akan duduk di bangku kelas karena dilarang sekolah oleh gurunya. Bahkan jika mendaftar sekolah tanpa akte kelahiran dan Kartu Keluarga,18 anak orang miskin di Cilincing ini ditolak mendaftar di SD milik pemerintah. SDN 09 Cilincing.
Aku membayangkan keinginan bocah-bocah itu yang harus menanggung beban psikologis seberat itu. Padahal, mereka ini hanya segelintir anak kurang beruntung yang ingin bermimpi dan menjamah mimpi masa depan. Apakah nggak boleh mereka menjamah mimpi seperti anak lain?
Sekonyol itukah seorang guru atau sebuah sekolah memberlakukan aturan kepada siswanya??
Akupun membandingkan Mico, anak tetangga yang enggan sekolah lagi setelah diusilin teman sekelasnya. Ibunya bercerita jika anaknya yang sekolah di SD Negeri itu cukup enak. SPP digratiskan. Buku pelajaran dipinjam dari sekolah. Nyaris nggak mengeluarkan biaya. Pun dengan sekolah swasta didekat rumah yang ber-uang gedung mahal. Merekapun rela mendiskon SPP anak nggak mampu.
***
Hmm.. jika waktu masih bisa kembali berputar kebelakang. Aku jadi sangat ingin sekali menghilangkan predikat prestasi gemilang yang udah ku raih selama dibangku sekolah. Yap, dulu aku termasuk salah satu siswa ”telatan”. Kalau dicatat mungkin aja udah menghabiskan banyak lembaran kertas karena daftar panjang ketelatanku ini udah kuukir sejak di bangku SMP.
Ketelatan karena kemalasan. Ketelatan karena nggak ada pemahaman. Meski aku mendapat lebih banyak keberuntungan dibanding Fitri atau Andika, tak terbersitpun punya mimpi masa depan yang ingin kujamah seperti mereka. Ya...Aku nggak punya mimpi. Jadi apa yang mau ku jamah..hiiiks
Tapi di waktu yang berbeda, aku bersyukur karena mimpi itu muncul dengan sedikit terlambat alias telat (lagi). Mimpi yang bisa kujamah.
Dengan ketelatanku pula kemudian aku menyadari bahwa mimpi tidak harus datang dari bangku sekolah. Bukankah begitu banyak mimpi itu ada di sekitar kita?
Tak usah diambil semua. Nikmati satu saja mimpimu itu..Jamah dan wujudkan menjadi nyata.
Komentar