Langsung ke konten utama

Deal with Your Trauma...



Bermain balon bagi anak usia lima tahun mungkin saja jadi kesenangan tersendiri. Seperti yang dilakukan anak-anak tetangga. Gimana nggak, udah capek-capek meniup biar balon yang dipegangnya membelendung, eh malah kemudian dipukul-pukul, diduduki, diinjak  hingga meletus. Bahkan kalau belum berhasil juga, mereka sibuk mencari benda berujung lancip hingga balon itu mengeluarkan bunyi beruntun. Duueer...Duueer!!!

Sensasi efek kejut disambut cekikikan dan gelak tawa kemaki menjadi tanda keberhasilan meletuskan satu per satu balon yang telah ditiup.  Mereka kegirangan. Reaksi serupa pernah kulihat ketika bunyi petasan memberondong perayaan malam takbiran.

Kadang sebal juga dan sering menggerutu sendiri. Lalu berteriak, ” Hooii, Iseng banget sih. Emang kalian nggak ada kerjaan..??!!...uupps.

Tapi pemandangan bertolakbelakang pernah kujumpai. Bunyi bikinan para ”hero” itu justru menjadi teriakan histeris Zaki. Kedua tangannya menutup rapat pendengarannya. Air mata menetes. Didekapan sang bunda terus meronta sambil meraco nggak jelas.

Hingga tiga hari, bocah mungil itu tak nampak batang hidungnya. Rupanya, ia lebih suka mendekam didalam rumah. ”Trauma dengan bunyi letusan balon”.
”Oo..masak sih suara balon bisa bikin orang trauma..? bagaimana bisa? Aku masgul.

Tapi meledosnya balon itu jelas-jelas menjadi peristiwa ”mengerikan” dan membekas. Pastinya nggak hanya Zaki. Aku juga pernah mendengar cerita ibu sebelah kalau anaknya nggak mau sekolah karena adegan drama di kelasnya. Gurunya menjewer kuping salah satu siswa hingga menangis kesakitan. Jangan-jangan reaksi itu juga dirasakan Presiden SBY ketika mendengar bunyi petasan dan kembang api di stadion Gelora Bung Karno, dan memilih angkat kaki meninggalkan tim Garuda..hehee.

Sama reaksi kebanyakan orang ketika cintanya diputus sepihak. Tidak mampu mengkontrol emosi, tubuh, perilaku dan pikiran. Merasa nggak nyaman, meluapkan dengan kemarahan nggak jelas lalu kabur dari rumah. Atau malah pusing jika mengingat kejadian itu. Reaksi negatif  yang berakibat pada kehidupan sosialnya. 

Juga cerita dalam buku ”Temanku Teroris?” ketika Mas Huda Ismail bertemu Alif, bocah yang ditemui di Bali. Ayahnya menjadi korban Bom Bali I. Atau peristiwa 11 September yang meluluh lantahkan gedung kembar World Trade Center, di pusat kota tersibuk di Amerika. 11 tahun berlalu belum tentu menyembuhkan trauma keluarga, saudara bahkan kekasih hampir tiga ribu korban peledakan itu.  Mereka tidak hanya meletakan karangan bunga di Zero Ground pada hari dan tempat yang sama. Mungkin mereka juga masih seperti Zaki kecil jika mengingatnya.

Sebuah trauma bisa saja berawal dari peristiwa kecil atau hal yang kadang  dianggap remeh. Tapi karena membekas di otak dan di hati, peristiwa itu menjadi besar. Dunia seakan ikut menangis.

Apa yang mereka alami dan rasakan lebih kurang sama. Hanya membangkitkan kesadaran diri untuk melawan trauma itu yang berbeda, karena kuatnya kungkungan situasi dan cara berpikir mereka.

Demikian halnya Aku. Ketika ingin membangun kesadaran diri, aku lebih suka mundur atau menarik diri dari situasi itu. Kalau perlu ngumpet aja atau meratap disuatu tempat untuk cooling down. Nangis atau teriak-teriak, nggak masalah. Ketika waktunya tepat, aku akan keluar dari persembunyian. Dan menyatakan siap berjabat tangan dengan trauma. 

So, Let’s finish...Deal??!!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

miyabi ato maria o(s)awa........

kemarin siang ga sengaja mampir ke tempat penjualan DVD yang ada di lantai dasar matahari plasa simpang lima setelah 10 menit milih-milih n nyoba beberapa film di layar kaca milik si penjual. tiba-tiba ada seorang laki-laki paruh baya berkulit putih dan bermata sipit datang dan mendekat ke arah kasir clingak-clinguk liat sekeliling toko yang emang lagi ga banyak pengunjung "hmm...kok mencurigakan ni orang.jangan-jangan.."pikirku "mbak..ada miyabi ga ?"tanya lelaki itu. "apa itu ?? enggak ada, adanya maria osawa." tapi dengan segera si mbak penjaga toko meralat. "oooo..maria o(s)awa ya...hee..ada tapi cuma dua koleksinya"jawab penjaga toko "ya, dua-duanya..."jawab si om singkat dengan nada pelan, obrolan lelaki itu berlanjut dengan penjaga yang lain "pengen liat aja, wong di Jakarta lagi ngetrend. ini ambil dimana?? Jakarta apa Batam mas?? "di Jakarta aja kok. tapi ga banyak ambilnya......"kata penjag...

Kisah Negeri Dongeng #3

Sophia memanggut. Pikirannya menjelajah ruang batin. Mencoba berpikir ulang. Mempertanyakan lagi perjalanan malam itu.  "Untuk Apa..." batinnya. Bukan untuk pria Jamaica, bukan untuk singkapan masa lalu. Entah.... yang terlintas di benaknya pada saat itu hanya satu.  "Untuk Thomas..? ."  Tidak. Batinnya menyanggah. Ini karena sepenggal kata. Tapi... Semua yang tak pernah terpikirkan terjadi. Sophia tak mampu menahan diri. Seperti apa akhir cerita itu. Sophia tidak pernah tahu. Thomas bergeming. Sophia pun tak pernah bertanya. Dan Thomas juga tak pernah mengisahkan akhir kisahnya. Semua lenyap seketika.  Ditelan malam. Gelap. Di hempas kemarau panjang. Kering. ****