“Peperangan
melawan diri sendiri adalah bentuk peperangan terbesar diantara perang yang
ada.” Quote di buku yang bercerita tentang kisah-kisah
humanis di wilayah konflik yang kubaca tiga hari lalu itu sepertinya biasa
saja. Tapi karena kubaca beberapakali dan kurenungkan justru nggak lepas dari
benakku. Jadi kepikiran. Jangan-jangan karena aku merasa tersindir dengan kalimat
di cover belakang buku yang ditulis dengan tinta warna merah itu.
Tapi aku nggak akan bicara tentang orang-orang yang
“terjebak” berada di area konflik dalam arti harafiah seringkali dikatakan
wilayah perang. Atau seperti yang ada di Wikipedia, konflik (configure) : saling
memukul. Yang dalam konteks sosiologis, diartikan sebagai suatu proses sosial
antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak
berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak
berdaya.
Ditambah
lagi dalam pandangan tradisional (The Traditional View) mengatakan kalau
konflik itu hal yang buruk, sesuatu yang negatif, merugikan, dan harus
dihindari. Bahkan konflik disinonimkan dengan istilah violence, destruction,
dan irrationality. Hah, serem sekali, hihi.
Mungkin pengertian itu yang bikin
banyak orang “nggak ngaku” dan menampik tengah berkonflik, hehe.
Bagiku, nggak perlu “menunggu” ada dua orang atau
lebih untuk menghancurkan atau membuatku sanggat nggak berdaya karena jujur saja aku mengakui
tengah menghadapi konflik. Bukan konflik karena berseteru dengan kawan,
orangtua bahkan bocah kecil yang sering bikin geleng-geleng kepala karena
kebandelannya. Tapi ini konflik dengan diri sendiri yang ternyata juga membuat aku
sangat nggak berdaya, hiiks.
Seperti misalnya ketika konflik batin itu muncul
karena pertentangan dan ketidak berdayaan menghadapi banyak hal dalam waktu
bersamaan. Harus “take it” pun berubah menjadi “leave it” gegara konsentrasi
membuyar. Konflik emang sesuatu yang tidak dapat dielakkan dan merupakan konsekuensi
logis dari hasil interaksi manusia atau dengan diri sendiri. Nah, kalau
kemudian muncul pemikiran logis untuk mencari cara meredam konflik, itu hal
yang masuk akal.
Tapi
bukankah itu cuman jalan pintas seperti ketika pusing kemudian spontan mencari obat dan
meminumnya? Sialnya lagi, obat yang
diminum belum tentu menghilangkan penyakit itu. Bukan dengan mencari ujung
pangkal kenapa bisa pusing dan berusaha menyembuhkannya tanpa merusak apa yang
sudah ada. Bisa jadi pusing itu akibat nggak punya duit, diputus pacar atau
gegara diomelin ortu, haha.
Daripada
ngelantur, yakinlah bahwa konflik itu nggak selamanya buruk. Karena toh itu
tetap bisa menjadi pengalaman positif plus
pembelajaran agar bisa melakukan hal yang lebih baik. Ya, konflik emang
melelahkan, tapi jangan pernah lelah mempelajari konflik. Semoga saja…
-non-
Komentar