Sejak lepas kuliah dulu ketika merasa "kesakitan" karena sesuatu hal, aku selalu berpikir untuk menjadi seorang amnesia.
Dengan begitu semua masalah yang membebani dan menuhi otakku akan hilang dengan sendirinya dan aku tak perlu energi ekstra tuk selalu memikirkan dan mengingat ataupun melupakannya.
Hal seperti itu kembali aku alami akhir-akhir ini. Jalan pintas yang menyenangkan sepertinya. Meski sedikit tragis memang.
Tapi pikiran kotor itu tiba-tiba luntur...bersama hujan malam itu
Sore itu aku bersama mbak Dewi pergi ke rumah sakit Elisabeth. Kami sengaja janjian dan pergi bersama menengok Erna yang mengalami kecelakaan jumat malam lalu. Hujan tidak menghalangi kami. Mungkin karena kami berpikir ini bukan kunjungan biasa.
Kami membawa "sesuatu". Hanya kita saja yang tahu..sebaiknya begitu.
Pukul lima sore kami masuk rumah sakit setelah sebelumnya sempat menikmati segelas coklat panas dan donut di dunkin donut. Cukup menghangatkan. Apalagi hujan sejak kami berangkat belum juga berhenti.
"Ruang Magdalena nomor 5" kata recepsionis setelah kami menanyakan ruangan Erna dirawat. Hanya memastikan.
Kami menuju koridor di sisi sebelah kiri. Hanya puluhan meter saja dari gerbang pintu masuk.
Pintu kamar terbuka. Sepi. Erna tergeletak sendiri. Mata terpejam. Sesaat kemudian perempuan tua berkerudung coklat tapi terlihat masih bugar mengikuti kami.
"Mama Erna" si ibu memperkenalkan diri dan langsung menanyakan keberadaan kami, maksudnya mungkin ingin menjelaskan kepada anaknya tentang siapa yang datang sore itu.
"Sapa..ga tahu.." suara Erna lirih dan terbata setelah sang ibu menjelaskan siapa kami.
Kami sebenarnya tidak kaget dengan kondisinya. Beberapa teman sudah mengabarkan. Kami maklum.
Tubuh tertutup selimut, tangan kiri tertancap jarum infus, sedangkan tangan kanan membujur kaku dengan balutan perban.
"Pergelangan tangan patah, kaki lecet terus pelipis kanan sobek, ini sudah dijahit...dan masih belum ingat siapa-siapa. Belum bisa ngenalin semua temen yang dateng.." cerita ibu.
Erna mengalami gegar otak ringan, jadi untuk sementara tidak bisa kenal dan identifikasi siapapun kecuali mengingat keluarganya.
Singkatnya...Amnesia.
Kami pun mencoba lebih mendekat. Mengajak bicara meski dia sama sekali tidak mengenali kami.
Dan ketika menatap matanya...
Kenapa tiba-tiba perasaanku campur aduk hingga tak kuasa membendung air yang mengalir dari ujung mataku.
Tatapan matanya kosong. Bahkan jujur saja ketika aku menatapnya, aku merasa asing. Seperti tidak mengenalnya. Pastinya begitu juga dengan Erna.
Seperti dua orang yang tak saling mengenal yang kebetulan bertemu dan saling menatap.
Sesaat kemudian, kedua matanya terpejam. Kepalanya menggeleng pelan. Mungkin ia sedang berusaha berpikir keras untuk mengingat siapa kami. Usaha yang sia-sia untuk saat ini. Dan justru menambah rasa pusing di kepalanya.
Kami pun lantas berbicara tentang kondisi Erna dengan ibunya. Setengah jam berlalu. Kami memutuskan untuk beranjak dari rumah sakit, karena pastinya tidak banyak hal yang bisa kami lakukan disana. Kecuali berdoa untuk kesembuhan Erna.
Erna masih jadi pembicaraan kami, hingga kami keluar gerbang rumah sakit dan berpisah di ujung jalan dekat trafict light Majapahit. Hujan masih belum reda.
Sendiri. Saat perjalanan pulang, jujur saja perasaan campur aduk belum juga hilang. Aku terus saja berpikir kira-kira apa yang dirasakan Erna saat ini. Ketika bertemu dengan orang-orang yang "tak dikenalnya" berbicara tentang dirinya.
Oh..Gosh...
Pasti sakit, sedih, kecewa, jengkel, marah...dan semua perasaan...
Dan aku kembali teringat dengan keinginanku yang selalu "ingin amnesia". Akan seperti itukah???
Aku membayangkan menjadi Erna saat ini...
Kira-kira apa yang dirasakan orang-orang terdekatku, keluargaku...
Sesaat lamunanku dibuyarkan kemacetan panjang di tanjakan Kaliwiru. Hujan belum juga berhenti. Jas hujan yang kubeli bersama mbak Dewi sore itu tak mampu bertahan. Air hujan sedikit demi sedikit mulai merangsek masuk tubuhku lewat lubang leher.
Dingin...
Setelah berhasil menembus kemacetan,lamunan itu kembali berlanjut..berkecamuk
Entahlah apa sebenarnya yang aku pikirkan..selain aku menjadi Erna....
Hingga akhirnya aku harus benar-benar bangun dari lamunan. Suara motor dengan klakson menyala melesat kencang di sisi kananku. Hampir saja menubrukku.
Hampir saja......
Tepat lima menit sebelum aku tiba di rumah.
Tubuhku menggigil, tapi bukan karena air hujan yang menerpaku sejak sore tadi.
Oh Gosh...
Aku tidak mau jadi AMNESIA............!!!!!!
Dengan begitu semua masalah yang membebani dan menuhi otakku akan hilang dengan sendirinya dan aku tak perlu energi ekstra tuk selalu memikirkan dan mengingat ataupun melupakannya.
Hal seperti itu kembali aku alami akhir-akhir ini. Jalan pintas yang menyenangkan sepertinya. Meski sedikit tragis memang.
Tapi pikiran kotor itu tiba-tiba luntur...bersama hujan malam itu
Sore itu aku bersama mbak Dewi pergi ke rumah sakit Elisabeth. Kami sengaja janjian dan pergi bersama menengok Erna yang mengalami kecelakaan jumat malam lalu. Hujan tidak menghalangi kami. Mungkin karena kami berpikir ini bukan kunjungan biasa.
Kami membawa "sesuatu". Hanya kita saja yang tahu..sebaiknya begitu.
Pukul lima sore kami masuk rumah sakit setelah sebelumnya sempat menikmati segelas coklat panas dan donut di dunkin donut. Cukup menghangatkan. Apalagi hujan sejak kami berangkat belum juga berhenti.
"Ruang Magdalena nomor 5" kata recepsionis setelah kami menanyakan ruangan Erna dirawat. Hanya memastikan.
Kami menuju koridor di sisi sebelah kiri. Hanya puluhan meter saja dari gerbang pintu masuk.
Pintu kamar terbuka. Sepi. Erna tergeletak sendiri. Mata terpejam. Sesaat kemudian perempuan tua berkerudung coklat tapi terlihat masih bugar mengikuti kami.
"Mama Erna" si ibu memperkenalkan diri dan langsung menanyakan keberadaan kami, maksudnya mungkin ingin menjelaskan kepada anaknya tentang siapa yang datang sore itu.
"Sapa..ga tahu.." suara Erna lirih dan terbata setelah sang ibu menjelaskan siapa kami.
Kami sebenarnya tidak kaget dengan kondisinya. Beberapa teman sudah mengabarkan. Kami maklum.
Tubuh tertutup selimut, tangan kiri tertancap jarum infus, sedangkan tangan kanan membujur kaku dengan balutan perban.
"Pergelangan tangan patah, kaki lecet terus pelipis kanan sobek, ini sudah dijahit...dan masih belum ingat siapa-siapa. Belum bisa ngenalin semua temen yang dateng.." cerita ibu.
Erna mengalami gegar otak ringan, jadi untuk sementara tidak bisa kenal dan identifikasi siapapun kecuali mengingat keluarganya.
Singkatnya...Amnesia.
Kami pun mencoba lebih mendekat. Mengajak bicara meski dia sama sekali tidak mengenali kami.
Dan ketika menatap matanya...
Kenapa tiba-tiba perasaanku campur aduk hingga tak kuasa membendung air yang mengalir dari ujung mataku.
Tatapan matanya kosong. Bahkan jujur saja ketika aku menatapnya, aku merasa asing. Seperti tidak mengenalnya. Pastinya begitu juga dengan Erna.
Seperti dua orang yang tak saling mengenal yang kebetulan bertemu dan saling menatap.
Sesaat kemudian, kedua matanya terpejam. Kepalanya menggeleng pelan. Mungkin ia sedang berusaha berpikir keras untuk mengingat siapa kami. Usaha yang sia-sia untuk saat ini. Dan justru menambah rasa pusing di kepalanya.
Kami pun lantas berbicara tentang kondisi Erna dengan ibunya. Setengah jam berlalu. Kami memutuskan untuk beranjak dari rumah sakit, karena pastinya tidak banyak hal yang bisa kami lakukan disana. Kecuali berdoa untuk kesembuhan Erna.
Erna masih jadi pembicaraan kami, hingga kami keluar gerbang rumah sakit dan berpisah di ujung jalan dekat trafict light Majapahit. Hujan masih belum reda.
Sendiri. Saat perjalanan pulang, jujur saja perasaan campur aduk belum juga hilang. Aku terus saja berpikir kira-kira apa yang dirasakan Erna saat ini. Ketika bertemu dengan orang-orang yang "tak dikenalnya" berbicara tentang dirinya.
Oh..Gosh...
Pasti sakit, sedih, kecewa, jengkel, marah...dan semua perasaan...
Dan aku kembali teringat dengan keinginanku yang selalu "ingin amnesia". Akan seperti itukah???
Aku membayangkan menjadi Erna saat ini...
Kira-kira apa yang dirasakan orang-orang terdekatku, keluargaku...
Sesaat lamunanku dibuyarkan kemacetan panjang di tanjakan Kaliwiru. Hujan belum juga berhenti. Jas hujan yang kubeli bersama mbak Dewi sore itu tak mampu bertahan. Air hujan sedikit demi sedikit mulai merangsek masuk tubuhku lewat lubang leher.
Dingin...
Setelah berhasil menembus kemacetan,lamunan itu kembali berlanjut..berkecamuk
Entahlah apa sebenarnya yang aku pikirkan..selain aku menjadi Erna....
Hingga akhirnya aku harus benar-benar bangun dari lamunan. Suara motor dengan klakson menyala melesat kencang di sisi kananku. Hampir saja menubrukku.
Hampir saja......
Tepat lima menit sebelum aku tiba di rumah.
Tubuhku menggigil, tapi bukan karena air hujan yang menerpaku sejak sore tadi.
Oh Gosh...
Aku tidak mau jadi AMNESIA............!!!!!!
Komentar